Dugaan terjadinya gempa pada Minggu, 21 September, yang diduga disebabkan oleh aktivitas Star Energy Geothermal, kembali menjadi sorotan.

Dugaan Dampak Aktivitas Star Energy Geothermal

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak yang dikelola Star Energy Geothermal berdiri megah, namun kontras dengan kondisi kehidupan masyarakat sekitar yang masih berada dalam kesulitan.

Menurut data Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), PLTP ini termasuk salah satu yang terbesar kedua di dunia, dengan wilayah kerja mencakup tiga daerah: Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Lebak. Ironisnya, masyarakat desa sekitar justru minim merasakan manfaat dari kehadiran mega proyek tersebut. Dana-dana yang seharusnya menjadi angin segar bagi daerah penghasil energi, justru mengalir ke tempat-tempat yang tak menyentuh langsung kehidupan warga.

Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Star Energy mencakup 10.000 hektar, di mana 228,69 hektare di antaranya sudah dialokasikan untuk eksploitasi. Namun radius dampak pengeboran (baik saat masih dikelola Chevron maupun kini Star Energy) cukup luas. Me

ski demikian, data spesifik mengenai dampak langsung dan terukur belum pernah dipublikasikan secara rinci.

Faktor Dampak Utama:

  1. Skala Operasi: WKP 10.000 hektar, area eksploitasi awal 228,69 hektar.
  2. Jenis Pengeboran: Dampak berbeda antara eksplorasi awal dan tahap eksploitasi.
  3. Tahap Proyek: Perbedaan signifikan antara masa pengembangan awal dan operasi jangka panjang.
  4. Infrastruktur Pendukung: Jalan akses, jalur transmisi listrik, hingga fasilitas pengolahan ikut memberi tekanan tambahan pada lingkungan sekitar.

Untuk menilai secara lebih tepat radius dan dampak aktivitas, sangat dibutuhkan kajian mendalam melalui studi lingkungan independen dari pihak berwenang maupun lembaga riset.

Pernyataan Mahasiswa

Ikbal Ramadhan, perwakilan mahasiswa, menegaskan:

Hal ini menjadi perhatian besar bagi kami sebagai mahasiswa yang berfungsi sebagai social control. Banyak yang harus dipertimbangkan dari aktivitas Star Energy Geothermal, khususnya bagi desa-desa yang terdampak namun tidak merasakan manfaatnya. Seperti Desa Purasari dan Desa Situ Udik yang berada di perbatasan Kecamatan Pamijahan, Cibungbulang, dan Leuwiliang. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, khususnya Bupati Bogor Bapak Rudi Susmanto, harus memberikan perhatian serius atas ketidakadilan ini.

Ia melanjutkan:

Bantuan Pemerintah (BP) yang masuk ke 15 desa di Kecamatan Pamijahan tidak sebanding dengan dampak yang juga dirasakan oleh desa lain yang sama dekatnya dengan PLTP, seperti Purasari dan Situ Udik. Bahkan Kecamatan Cibungbulang dan Leuwiliang memiliki jarak hampir sama dengan Desa Cimayang yang masuk wilayah BP. Kondisi ini jelas harus menjadi pertimbangan dalam kebijakan pemerintah daerah.

Ikbal Ramadhan kembali menegaskan :

Kami meminta kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Gubernur Jawa Barat untuk segera menutup aktivitas Star Energy Geothermal yang berpotensi menyebabkan masalah besar bagi lingkungan alam dan kehidupan manusia dalam jangka panjang. Kami mendesak Gubernur Jawa Barat untuk segera bertindak tegas dalam menangani persoalan serius ini.

Kesimpulan:
Kasus ini menegaskan pentingnya evaluasi ulang terhadap distribusi manfaat, dampak lingkungan, serta risiko jangka panjang dari proyek energi panas bumi. Pemerintah daerah maupun provinsi harus segera mengambil langkah tegas untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari ancaman yang ditimbulkan oleh operasi Star Energy Geothermal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *