*Diklat Camat 2025 dan Beban Rp 33 Miliar: Investasi Kinerja atau Seremonial Rutin?*
Kementerian Dalam Negeri melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) kembali menggulirkan program Pendidikan dan Pelatihan Kepamongprajaan bagi Camat Angkatan X–XIV Tahun 2025. Kegiatan ini dijadwalkan berlangsung pada 4–8 Agustus 2025 di BW Kemayoran Hotel & Convention, Jakarta.
Secara administratif, kegiatan ini bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan dan pelayanan camat di seluruh Indonesia. Namun di balik narasi peningkatan kapasitas, publik patut mempertanyakan: berapa besar biaya yang dikucurkan, dan apakah benar sebanding dengan dampaknya di lapangan?
💰 Beban Kolektif Rp 33 Miliar Lebih
Biaya yang dikenakan kepada peserta dalam surat resmi BPSDM Kemendagri mencakup:
Biaya diklat (PNBP): Rp 3.025.000
Biaya akomodasi & konsumsi: Rp 1.500.000
Biaya transportasi & uang saku: dibebankan masing-masing instansi pengirim (APBD)
Dengan jumlah kecamatan di Indonesia mencapai ±7.277, estimasi total beban biaya negara dan daerah mencapai:
Komponen Biaya Per Camat Total Nasional (7.277 Camat)
PNBP (Diklat) Rp 3.025.000 Rp 22.020.925.000
Akomodasi & Konsumsi Rp 1.500.000 Rp 10.915.500.000
Total Minimal Rp 4.525.000 Rp 32.936.425.000 (± Rp 33 M)
Ini belum termasuk biaya transportasi dan uang harian yang dibebankan ke APBD daerah. Jika dirata-ratakan Rp 1 juta per peserta, maka anggaran membengkak hingga ±Rp 40 miliar secara nasional.
📉 Efektivitas Dipertanyakan
Pelatihan bagi aparatur pemerintah adalah bagian penting dari pengembangan SDM. Namun, tanpa indikator keberhasilan yang jelas dan tanpa evaluasi pasca pelatihan, kegiatan ini rentan menjadi agenda seremonial yang menguras anggaran.
Tidak jarang pelatihan hanya menjadi ajang kehadiran formal dan formalitas sertifikasi, tanpa memberikan peningkatan nyata dalam kualitas kepemimpinan dan pelayanan publik di kecamatan masing-masing.
🏢 Lokasi Mewah: Kontras dengan Kondisi Lapangan
Pemilihan hotel berbintang di ibu kota untuk pelatihan camat, sementara masih banyak kecamatan yang beroperasi dengan sarana dan prasarana terbatas, menjadi ironi tersendiri. Hal ini menimbulkan kesan bahwa program pelatihan lebih berorientasi pada kemewahan fasilitas ketimbang kualitas substansi.
🔄 Rekomendasi Perbaikan:
1. Evaluasi Substansi Pelatihan: Kemendagri perlu menerapkan sistem umpan balik berbasis proyek atau kinerja pasca pelatihan.
2. Efisiensi Format: Pelatihan dapat dilakukan secara daring atau berbasis regional untuk memangkas biaya.
3. Keterbukaan Anggaran Daerah: Publik perlu tahu berapa APBD yang digunakan daerah untuk mengirim peserta.
4. Relevansi Materi: Materi pelatihan harus sesuai dengan kebutuhan nyata camat di lapangan, bukan sekadar teori.
📌 Penutup
Jika pelatihan ini tidak diikuti oleh reformasi substansial, maka publik berhak menyebutnya sebagai bentuk pemborosan sistemik anggaran negara. Rp 33 miliar yang dihabiskan untuk pelatihan seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki layanan dasar seperti infrastruktur desa, layanan publik digital, atau peningkatan gizi masyarakat.
Sudah saatnya pelatihan aparatur tidak sekadar menjadi rutinitas tahunan, melainkan menjadi motor perubahan konkret bagi tata kelola pemerintahan di tingkat paling dekat dengan rakyat.