Jakarta – Pengusaha kelas kakap kelahiran Semarang ternyata memiliki tanah di negara tetangga yakni Singapura hingga seperempat luas negara tersebut.
Sosok ini diketahui memiliki seperempat atau 182 km2 dari 728,6 km2 total wilayah Singapura. Bahkan, saking berpengaruh lalu berjasa, nama pengusaha perusahaan ini diabadikan sebagai nama jalan juga binaan dalam Singapura.
Lantas, siapa sosok pelaku bisnis itu?
Raja gula dunia
Pengusaha itu bernama Oei Tiong Ham, pria kelahiran Semarang pemilik salah satu perusahaan gula terbesar dalam dunia, Oei Tiong Ham Concern (OTHC). OTHC adalah konglomerasi kegiatan bisnis yang dimaksud didirikan Oei Tiong Ham pada 1893.
Awal OTHC bermula dari satu perusahaan bernama Kian Gwan yang digunakan didirikan oleh ayah Oei pada 1863. Kian Gwan awalnya berbisnis properti, tetapi perlahan merambah ke industri gula sewaktu kepengurusan perusahaan jatuh ke tangan Oei.
Di tangan Oei inilah, Kian Gwan mencapai puncak kesuksesan. Sejak akhir 1880-an, berkat modernisasi perusahaan, Oei Tiong Ham sukses memonopoli pangsa gula di Jawa usai sukses membuka perkebunan tebu juga mendirikan pabrik gula skala besar. Dari sinilah ia mendapat akumulasi cuan juga sukses mendirikan kerajaan usaha bernama OTHC.
Lewat besarnya monopoli gula, tulis Onghokham ke Konglomerat Oei Tiong Ham (1992), OTHC berhasil mengekspor gula sebanyak 200 ribu ton hingga mengalahkan berbagai perusahaan Barat di kurun 1911-1912.
Bahkan, ke waktu bersamaan, OTHC sukses menguasai 60% pangsa gula dalam Hindia Belanda. Tak berhenti ke situ, sayap usaha OTHC pun tiada hanya saja di dalam Hindia Belanda, tetapi juga sudah ada sampai India, Singapura hingga London. Lini bisnisnya pun tak hanya sekali sektor gula, tetapi juga pergudangan, pelayaran, serta perbankan.
Tak heran, berkat besarnya usaha itu, Oei disebut mempunyai kekayaan 200 jt gulden. Sebagai catatan, uang 1 gulden pada 1925 dapat membeli 20 kg beras. Jika harga jual beras Mata Uang Rupiah 10.850/kg, diperkirakan harta kekayaannya senilai Mata Uang Rupiah 43,4 triliun.
Kabur ke Singapura
Pada sisi lain, besarnya keuntungan yang tersebut didapat Oei malah menjadi malapetaka bagi dirinya. Sebab, besarnya harta justru berubah menjadi incaran tenaga pajak pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sebagaimana dituliskan Liem Tjwan Ling di Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang (1979), pemerintah kolonial tercatat menagih Oei pajak sebesar 35 jt gulden yang tersebut akan datang digunakan untuk menutupi kerugian pasca-perang. Tidak cuma itu, Oei juga diharuskan membayar pajak dua kali lipat tanpa alasan jelas.
Dari sini, Oei berpikir bahwa ia sedang diperas pemerintah. Pajak hanyalah akal bulus pemerintah untuk mendapatkan uangnya. Alhasil, agar terhindar dari pajak memberatkan, beliau meninggalkan Semarang kemudian tinggal selamanya pada Singapura pada 1920. Di Singapura beliau kemudian benar-benar bebas.
Masih mengutip paparan Liem, pada tanah jajahan Inggris itu, Oei membeli sejumlah tanah serta rumah yang dimaksud apabila ditotal luasnya setara dengan seperempat wilayah Singapura. Saat itu tak semua entrepreneur yang mana mampu membeli tanah dalam sana. Hanya warga super kaya saja, juga Oei termasuk bagian ini. Pembelian aset ini seluruhnya tercatat menghadapi nama pribadi Oei Tiong Ham.
Dalam laman resmi Perpustakaan Nasional Singapura, beliau juga diketahui sempat membeli perusahaan pelayaran Heap Eng Moh Steamship Company Limited kemudian bermetamorfosis menjadi pemilik awal saham Overseas Chinese Bank (OCB), pada masa kini OCBC.
Lalu beliau juga menyumbang US$ 150.000 untuk konstruksi kompleks Raffles College, termasuk mendirikan beberapa sekolah. Dia juga kerap bermetamorfosis menjadi donatur utama pada kegiatan kemanusiaan. Itu semua terjadi sebelum Oei meninggal pada 6 Juli 1924. Sejak sepeninggal Oei inilah, kejayaan bisnisnya mulai goyah.
Goyahnya perusahaan Oei
Kegoyahan ini kemudian berujung pada keruntuhan perusahaan Oei Tiong Ham pada sekejap. Pada 1961, pemerintah Nusantara menuntut OTHC dikarenakan dianggap melanggar peraturan tentang valuta asing.
Bagi putra Oei bernama Oei Tjong Tay, dikutipkan dari Benny G. Setiono pada Tionghoa di Pusaran Politik (2003), tuntutan ini adalah upaya pemerintah mencari-cari alasan menyita seluruh aset OTHC ke Indonesia oleh sebab itu sebelumnya gagal mengambil alih perusahaan.
Singkat cerita, pengadilan Semarang memutus OTHC bersalah. Tepat pada 10 Juli 1961, barang-barang bukti yang dimaksud tersangkut perkembangan dirampas dan juga disita negara.
Penyitaan yang tersebut berlangsung di waktu sehari itu satu di antaranya juga harta warisan Oei Tiong Ham. Dengan kata lain, seluruh aset OTHC serta keluarga Oei disita. Hasil penyitaan inilah yang dimaksud berubah menjadi aset untuk modal establishment BUMN tebu bernama PT Rajawali Nusantara Indonesi (RNI) pada 1964.
Setelah pengambilalihan oleh negara itulah, jejak bidang usaha konglomerasi besar OTHC selama puluhan tahun di zaman kolonial hilang begitu saja. Bahkan, keturunan Oei Tiong Ham pun gaungnya bukan lagi terdengar, hanya saja tinggal sejarah.
Termasuk juga persoalan kepemilikan tanah kemudian rumah hingga seperempat wilayah Singapura tersebut. Semuanya hilang begitu saja. Meski begitu, jejak kebesaran Oei Tiong Ham di Singapura dapat dilihat pada sejumlah tempat. Di National University of Singapore, terdapat kompleks yang digunakan dinamai Oei Tiong Ham. Lalu di dalam jalanan kota, terdapat jalan Oei Tiong Ham Park.
Next Article Besar di dalam Tempat Kumuh, Pria Ini adalah Jadi Pengusaha Berharta Mata Uang Rupiah 840 M
Artikel ini disadur dari Kabur dari Indonesia, Orang Ini Jadi Pengusaha Terkenal di Singapura