Gara-Gara Harga Cabai Meledak, Emak-Emak serta Pedagang Warteg Teriak

Gara-Gara Harga Cabai Meledak, Emak-Emak dan juga Pedagang Warteg Teriak

Jakarta – Harga cabai yang dimaksud terus melonjak pada beberapa waktu terakhir memproduksi para ibu rumah tangga serta pelaku bidang usaha kecil menengah, seperti warung tegal (Warteg), merasa terbebani. Kenaikan nilai tukar material pokok ini bukanlah cuma menciptakan kantong menjerit, tetapi juga memaksa banyak pendatang untuk mengubah pola belanja dan juga memasak mereka.

Berdasarkan pantauan CNBC Tanah Air dalam Pasar Rumput, Ibukota Selatan, Hari Jumat (7/3/2025), harga jual cabai rawit merah ketika ini berada di hitungan Rp90.000 per kilogram (kg). Walaupun nilai ini telah turun melebihi lima hari berikutnya yang dimaksud sempat mencapai Rp130.000 per kg, kekal hanya status ini masih dirasa berat bagi sejumlah orang.

Didik, salah individu peniaga cabai di Pasar Rumput, mengatakan tarif cabai rawit merah sudah ada mulai turun di dua hari terakhir.

“Harga cabai, yang dimaksud rawit merah hari ini Rp90.000 per kg. Naiknya telah agak lama, kayaknya ada seminggu. Ini adalah malah sudah ada mulai turun lagi, baru dua hari ini segitu, sebelumnya Rp120.000-Rp130.000 per kg,” jelasnya terhadap CNBC Indonesia.

Sementara itu, harga jual cabai keriting cenderung tambahan stabil ke bilangan bulat Rp45.000 per kilogram,

Pantauan nilai pangan ke Pasar Rumput, Ibukota Indonesia Selatan, Awal Minggu (20/1/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)Foto: Pantauan biaya pangan pada Pasar Rumput, DKI Jakarta Selatan, Hari Senin (20/1/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
Pantauan harga jual pangan di dalam Pasar Rumput, Ibukota Selatan, Awal Minggu (20/1/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

Senada dengan Didik, Jupri, pedagang cabai lainnya, juga mengonfirmasi bahwa tarif cabai rawit merah memang sebenarnya sedikit mengalami penurunan pasca sebelumnya mencapai harga jual yang digunakan lebih banyak tinggi.

“Cabai rawit Rp90.000 per kg. (Ini lagi naik?) mulai turun malah. Baru dari kemarin turunnya. Lima hari setelah itu Rp130.000 per kg,” ujar Jupri.

Lantas, bagaimana dengan respons konsumen?

Yeti, pribadi ibu rumah tangga, mengaku kenaikan biaya cabai sangat berdampak pada anggaran belanjanya. Dia mengaku, suaminya merupakan penggemar berat sambal serta setiap saat membeli cabai rawit merah, atau yang mana biasa disebut “cabai jablay.”

“Maunya sih harganya standar saja. Karena kalau terlalu rendah juga kasihan petani, kalau terlalu tinggi ya kasihan juga saya, ibu-ibu rumah tangga. Apalagi suami saya ini modelnya yang mana senang (makan) cabai, senang sambal, pasti rutin beli cabai gitu lho. Apalagi cabainya kalau suami saya mah harus yang mana cabai jablay (cabai rawit merah),” ungkapnya.

Adapun ketika nilai cabai melambung pada berhadapan dengan Rp100.000 per kg, Yeti mengaku terpaksa mengubah menu masakan di rumahnya.

“Kalau telah membesar gini ya alamat nggak kebeli, apalagi kalau sampai udah dalam melawan Rp100.000 sekilonya. Ya masa makan cabai doang, makan sambal doang, mending uangnya buat beli (bahan pokok) yang digunakan lain,” keluhnya.

Namun, lantaran suaminya tak bisa saja makan tanpa sambal, dia kerap masih membeli cabai, meskipun nilai tukar sedang tinggi. “Pernah waktu ke bilangan Rp120.000 per kg, terus dibeli juga identik dia. Kalau saya mah, kalau harga jual lagi besar gitu mending makan saus aja dulu. Nah, masaknya berarti kayak ayam goreng doang atau apa gitu yang cocoknya makan pakai saus aja,” tambahnya.

Tidak belaka ibu rumah tangga, peniaga makanan seperti Eni, manusia pemilik warteg ke sekitar Menteng, juga merasakan dampaknya. Ia mengaku harus menyiasati nilai tukar cabai yang mana mahal dengan mengempiskan porsi sambal yang diberikan terhadap pelanggan.

“Ya pasti saya kurangi (porsi) sambalnya lah. Nggak boros gitu. Bukannya kehilangan sih (kalau ngasih terus banyak), tapi kan itu sudah ada mengempiskan keuntungan saya. Pasti kurang keuntungannya. Rugi sih nggak mungkin saja ya, pasti ada untung, cuma pasti berkurang kalau cabai lagi mahal gini,” jelasnya.

Namun, pengurangan sambal ini kerap menimbulkan pelanggan merasa tidak ada puas.

“Ya repot, dikarenakan kan nggak sedikit pembeli juga pada suka sambal. Kalau ada pembeli yang digunakan doyan sambal, beuh, dikeruk sambalnya, atau nggak beliau bawel minta tambahin-tambahin. Tapi ya gimana lagi, konsekuensi jualan. Jadi kalau ditanya repot atau enggak? Ya repot banget,” tambahnya.

Untuk mengakali nilai tukar cabai yang tinggi, Eni pun mencoba mengganti jenis cabai yang digunakan digunakan pada masakannya.

“Iya, pasti. Jadi kalau biasanya cabai jablaynya sekilo.. Hal ini buat seharian ya, terus cabai merahnya sekilo. Kalau lagi mahal gini mah ya dikurangi yang tersebut rawitnya, diganti banyakan yang keriting. Yang penting ada sambal, kendati pasti rasa pedasnya kurang ya,” ungkap dia.

Meski sudah ada mulai melakukan pergerakan turun, biaya cabai masih dirasa mahal bagi banyak konsumen. Harapan ibu rumah tangga dan juga pelaku usaha kecil pun sama, nilai yang lebih besar stabil agar dia tiada harus terus-menerus menyiasati anggaran hanya sekali demi membeli cabai.

Next Article Pemerintah Tolong! Harga Cabai Murah Parah, ke Petani Cuma Rp6.400/ Kg

Artikel ini disadur dari Gara-Gara Harga Cabai Meledak, Emak-Emak dan Pedagang Warteg Teriak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *